Senin, 07 Desember 2009

TEORI BELAJAR BEHAVIORISTIK DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN

A. Pengertian Belajar Menurut Pandangan Teori Behavioristik
Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka responpun akan semakin kuat.
Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage, Berliner, 1984).
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para tokoh aliran behavioristik.

a.1 Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama, yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal tertentu dapat memperkuat respon.
a.2 Teori Belajar Menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana dapat diamati dan diukur.
a.3 Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).

a.4 Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell, Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru. Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Siswa harus dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
a.5 Tori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebih komprehensif. Menurut Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuaensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga mengmukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
B. Analisis Tentang Teori Behavioristik
Kaum behavioris menjelaskan bahwa belajar sebagai suatu proses perubahan tingkah laku dimana reinforcement dan punishment menjadi stimulus untuk merangsang siswa dalam berperilaku. Pendidik yang masih menggunakan kerangka behavioristik biasanya merencanakan kurikulum dengan menyusun isi pengetahuan menjadi bagian-bagian kecil yang ditandai dengan suatu keterampilan tertentu. Kemudian, bagian-bagian tersebut disusun secara hirarki, dari yang sederhana sampai yang komplek (Paul, 1997)
Pandangan teori behavioristik telah cukup lama dianut oleh para pendidik. Namun dari semua teori yang ada, teori Skinnerlah yang paling besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar behavioristik. Program-program pembelajaran seperti Teaching Machine, Pembelajaran berprogram, modul dan program-program pembelajaran lain yang berpijak pada konsep hubungan stimulus-respons serta mementingkan faktor-faktor penguat (reinforcement), merupakan program pembelajaran yang menerapkan teori belajar yang dikemukakan Skiner.
Teori behavioristik banyak dikritik karena seringkali tidak mampu menjelaskan situasi belajar yang kompleks, sebab banyak variabel atau hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan dan/atau belajar yang dapat diubah menjadi sekedar hubungan stimulus dan respon. Teori ini tidak mampu menjelaskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam hubungan stimulus dan respon.
Pandangan behavioristik juga kurang dapat menjelaskan adanya variasi tingkat emosi siswa, walaupun mereka memiliki pengalaman penguatan yang sama. Pandangan ini tidak dapat menjelaskan mengapa dua anak yang mempunyai kemampuan dan pengalaman penguatan yang relatif sama, ternyata perilakunya terhadap suatu pelajaran berbeda, juga dalam memilih tugas sangat berbeda tingkat kesulitannya. Pandangan behavioristik hanya mengakui adanya stimulus dan respon yang dapat diamati. Mereka tidak memperhatikan adanya pengaruh pikiran atau perasaan yang mempertemukan unsur-unsur yang diamati tersebut.
Teori behavioristik juga cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shaping, yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Padahal banyak faktor yang berpengaruh yang mempengaruhi proses belajar. Jadi teori belajar tidak sesederhana yang dilukiskan teori behavioristik.
Skinner dan tokoh-tokoh lain pendukung teori behavioristik memang tidak menganjurkan digunakannya hukuman dalam kegiatan pembelajaran. Namun apa yang mereka sebut dengan penguat negatif (negative reinforcement) cenderung membatasi siswa untuk berpikir dan berimajinasi.
Menurut Guthrie hukuman memegang peranan penting dalam proses belajar. Namun ada beberapa alasan mengapa Skinner tidak sependapat dengan Guthrie, yaitu:
1) Pengaruh hukuman terhadap perubahan tingkah laku sangat bersifat sementara.
2) Dampak psikologis yang buruk mungkin akan terkondisi (menjadi bagian dari jiwa si terhukum) bila hukuman berlangsung lama.
3) Hukuman yang mendorong si terhukum untuk mencari cara lain (meskipun salah dan buruk) agar ia terbebas dari hukuman. Dengan kata lain, hukuman dapat mendorong si terhukum melakukan hal-hal lain yang kadangkala lebih buruk daripada kesalahan yang diperbuatnya.
Skinner lebih percaya kepada apa yang disebut sebagai penguat negatif. Penguat negatif tidak sama dengan hukuman. Ketidaksamaannya terletak pada bila hukuman harus diberikan (sebagai stimulus) agar respon yang muncul berbeda dengan respon yang sudah ada, sedangkan penguat negatif (sebagai stimulus) harus dikurangi agar respon yang sama menjadi semakin kuat. Misalnya, seorang siswa perlu dihukum karena melakukan kesalahan. Jika siswa tersebut masih saja melakukan kesalahan, maka hukuman harus ditambahkan. Tetapi jika sesuatu tidak mengenakkan siswa (sehingga ia melakukan kesalahan) dikurangi (bukan malah ditambah) dan pengurangan ini mendorong siswa untuk memperbaiki kesalahannya, maka inilah yang disebut penguatan negatif. Lawan dari penguatan negatif adalah penguatan positif (positive reinforcement). Keduanya bertujuan untuk memperkuat respon. Namun bedanya adalah penguat positif menambah, sedangkan penguat negatif adalah mengurangi agar memperkuat respons.
D. Aplikasi Teori Behavioristik dalam Kegiatan Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar mempengaruhi arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Istilah-istilah seperti hubungan stimulus respon, individu atau siswa pasif, perilaku sebagai hasil yang tampak, pembentukan perilaku (shaping) dengan penataan kondisi secara ketat, reinforcement dan hukuman, ini semua merupakan unsur-unsur yang sangat penting dalam teori behavioristik. Teori ini hingga sekarang masih merajai praktek pembelajaran di Indonesia. Hal ini tampak dengan jelas pada penyelenggaraan pembelajaran dari tingkat yang paling dini, seperti kelompok bermain, Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, pembentukan perilaku dengan cara drill (pembiasaan) disertai dengan reinforcement atau hukuman masih sering dilakukan.
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behvioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge)ke orang yang belajar atau siswa. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Siswa diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid (Degeng, 2006).
Demikian halnya dalam proses belajar mengajar, siswa dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standart-standart tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para siswa. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar siswa diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat unobservable kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Siswa atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri siswa (Degeng, 2006).
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut siswa untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Evaluasi menekankan pada respon pasif, ketrampilan secara terpisah, dan biasanya menggunakan paper and pencil test. Evaluasi hasil belajar menuntut jawaban yang benar. Maksudnya bila siswa menjawab secara “benar” sesuai dengan keinginan guru, hal ini menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi belajar dipandang sebagi bagian yang terpisah dari kegiatan pembelajaran, dan biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan pembelajaran. Teori ini menekankan evaluasi pada kemampuan siswa secara individual (Degeng, 2006).

Aslinya dapat kunjungi:

Gambar untuk mewarnai







Sabtu, 14 November 2009

TEORI KREATIFITAS

Download file lengkap di sini [ Ziddu ] [ 4Shared ]

A. Kriteria Kreativitas
Penentuan kriteria kreativitas menyangkut tiga dimensi yaitu dimensi proses, orang atau pribadi, dan produk kreatif (Amabile, 1983). Dengan menggunakan proses kreatif sebagai kriteria kreativitas, maka segala produk yang dihasilkan dari proses itu dianggap sebagai produk kreatif, dan orangnya disebut sebagai orang kreatif. Keberatan yang diajukan terhadap teori ini ialah, sesuatu yang dihasilkan dari proses berpikir kreatif tidak selalu dengan sendirinya dapat disebut sebagai produk kreatif. Kriteria ini jarang dipakai dalam penelitian (Supriadi, 1994: 13).
Dimensi orang atau pribadi sebagai kriteria kreativitas seringkali kurang jelas rumusannya. Amabile (1983) mengatakan bahwa pengertian orang atau pribadi sebagai kriteria kreativitas identik dengan yang dikemukakan Guilford (1950) disebut kepribadian kreatif. Kepribadian kreatif menurut Guilford meliputi dimensi kognitif (yaitu bakat) dan non-kognitif (yaitu minat, sikap, dan kualitas temperamental). Menurut teori ini, orang-orang kreatif memiliki ciri-ciri kepribadian yang yang secara signifikan berbeda dengan orang-orang yang kurang kreatif. Karakteristik-karakteristik kepribadian ini menjadi kriteria untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif. Orang-orang yang memiliki ciri-ciri seperti yang dimiliki oleh orang-orang kreatif dengan sendirinya adalah orang kreatif (Supriadi, 1994: 13).
Kriteria ketiga adalah produk kreatif, yang menunjuk kepada hasil perbuatan, kinerja, atau karya seseorang dalam dalam bentuk barang, atau gagasan. Kriteria ini dipandang sebagai yang paling eksplisit untuk menentukan kreativitas seseorang, sehingga disebut sebagai ”kriteria puncak” bagi kreativitas (Amabile, 1983). Dalam operasi penilaiannya, proses identifikasi kreativitas dilakukan melalui analisis obyektif terhadap produk, pertimbangan subyektif oleh peneliti, atau peneliti ahli, dan melalui tes (Supriadi, 1994: 14).
Dari kajian tentang kreativitas di atas, penulis lebih terfokus pada produk kreatif. Karena produk kreatif lebih dapat diamati, dan apapun fokus kreativitas pada akhirnya penilaian terhadap seseorang tentang kreativitas adalah produk orang tersebut, apakah orang tersebut mempunyai produk yang kreatif atau tidak. Tanpa produk tertentu, tidak mungkin seseorang dapat dikatakan kreatif, atau mempunyai kreativitas yang tinggi.

c. Cara-cara Mengukur Kreativitas
Banyak usaha dari para psikolog untuk mengukur kreativitas seseorang. Meskipun mereka menggunakan definisi kreativitas dengan definisi mereka sendiri, tetapi ada baiknya kita perhatikan beberapa pendapat berikut ini.

Menurut Supriadi (1994: 23), ada lima pendekatan yang digunakan untuk menilai kreativitas seseorang. Kelima pendekatan itu adalah: 1. Analisis obyektif terhadap produk kreatif, 2. Pertimbangan subyektif, 3. Inventori kepribadian, 4. Inventori biografis, dan 5. Tes kreativitas.

1) Analisis obyektif terhadap produk kreatif
Pendekatan ini dimaksudkan untuk menilai secara langsung kreativitas suatu produk berupa benda atau karya-karya kreatif lain yang dapat diobservasi wujud fisiknya. Pendekatan ini pertama kali dikemukakan oleh Ghiselin (1963). Metode ini dikembangkan oleh Simonton (1980) yaitu digunakan dalam studinya terhadap kreativitas dalam karya musik klasik, berdasarkan orisinalitasnya.

2) Pertimbangan subyektif
Pendekatan ini mengandalkan berbagai kamus biografi untuk memilih orang-orang kreatif. Pendekatan ini digunakan oleh Galton (1870) yaitu untuk menentukan orang-orang yang layak disebut genius. Pendekatan ini juga digunakan oleh Simonton (1975) yaitu dengan menggunakan sumber-sumber biografi, catatan sejarah, dan antologi untuk menentukan subyek studinya yang meliputi sekitar 5000 orang dan produk kreatif. Pertimbangan subyektif ini digunakan dengan cara meminta sekelompok pakar untuk menilai kreativitas orang-orang tertentu yang sesuai dengan bidangnya.

3) Inventori kepribadian
Pendekatan ini ditujukan untuk mengetahui kecenderungan-kecenderungan kepribadian kratif seseorang atau keterkaitan kepribadian yang berhubungan dengan kreativitas. Kepribadian kreatif meliputi: sikap, motivasi, minat, gaya berpikir, dan kebiasaan-kebiasaan dalam berperilaku.

4) Inventori biografis
Inventori biografis digunakan untuk mengungkap berbagai aspek kehidupan orang-orang kreatif, meliputi identitas pribadi, lingkungan, dan pengalaman-pengalaman hidupnya. Dengan memperhatikan biografis seseorang, maka dapat dilihat tingkat kreativitas orang tersebut.

5) Tes Kreativitas
Tes kreativitas digunakan untuk mengidentifikasi orang-orang kreatif yang ditunjukkan oleh kemampuan dalam berpikir kreatif. Hasil tes ini berbentuk skor yang kemudian dikonversikan ke dalam skala tertentu yang menghasilkan Creativity Quotient (CQ) yang mirip dengan Intelligence Quotient (IQ). Beberapa bentuk tes kreativitas antara lain: Test of Divergent thinking, Creativity test for Children, Torrance Test of Creative Thinking, Creative Assessment Package, Tes kreativitas verbal dari Munandar. Tes kreativitas berbeda dengan tes intelegensi, Tes Intelegensi menguji kemampuan berpikir konvergen, karena itu jawaban yang disediakan benar dan salah. Sedangkan tes kreativitas mengukur kemampuan berpikir divergen, tidak ada jawaban benar atau salah. Kualitas respon seseorang diukur dari sejauh manakah memiliki keunikan dan berbeda dari kebanyakan orang. Makin unik dan orisinal, makin tinggi skornya. Selain itu yang menjadi kriteria penskoran adalah keluwesan, kelancaran, dan kerincian jawaban.
sumber: http://suchaini.wordpress.com/2008/12/15/teori-kreatifitas/

Jumat, 13 November 2009

Stimulasi Musik Untuk Kecerdasan Anak

Alasan mendengarkan musik antara lain untuk membantu mengatasi kebosanan atau melepaskan stres. Sebenarnya alunan nada itu juga bisa berfungsi sebagai stimulasi yang dapat mempengaruhi kecerdasan anak.

Getaran musik yang masuk melalui telinga serta mempengaruhi kejiwaan, juga melalui neuron di otak. Ahli saraf dari Harvard University, Mark Tramo, M.D. mengatakan bahwa didalam otak manusia, jutaan neuron dari sirkuit secara unik menjadi aktif ketika kita mendengar musik. Neuron-neuron ini menyebar ke berbagai daerah di otak, termasuk pusat auditori di belahan kiri dan belahan kanan. Rupanya mulai dari sinilah kaitan antara musik dan kecerdasan terjadi.

Bukan berarti orangtua harus membelikan anaknya alat-alat musik yang super mahal untuk si kecil. Orangtua juga tak wajib mendominasi rumah dengan komposisi dari para komposer ternama dunia yang rumit. Awalnya, biarkan musik menghiasi ruang di sekitar anak-anak. Putarkan lagu di radio lalu orangtua dapat ikut bernyanyi bersama si kecil.

Pendidik neuroscience dan penulis buku Early Childhood Connections: The Journal of Music and Movement-Based Learning, Dr. Dee Joy Coulter mengaktan, melalui kegiatan bermain dan mendengar musik, anak dapat memperoleh manfaatnya. Dia mengklasifikasikan lagu-lagu, gerakan dan permainan anak sebagai latihan untuk otak yang brilian, yang mengenalkan anak pada pola bicara,keterampilan-keterampilan sensory motor
dan strategi gerakan yang penting.

Tak hanya perkembangan bahasa dan kosa kata anak meningkat melalui permainan yang mengandung musik, namun juga logika dan keterampilan-keterampilan beriramanya. Logika membuat anak nantinya mampu mengorganisasi ide dan mampu memecahkan masalah. Berbagai manfaat yang didapat dari musik, pendidikan prasekolah pun menggunakan musik sebagai bagian dari proses pendidikan.

Pakar pendidikan musik dari Ohio of State University, AS, Jim McCutcheon M.M.Ed dalam artikelnya Private Music Lesson for Kids memaparkan, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan orangtua sebelum mengajak si kecil belajar di kelas musik yaitu perkembangan mental dan fisik anak. Teliti apakah rentang perhatian si kecil bisa lebih dari 2 menit. Pada tahun awal, anak setidaknya memiliki kemampuan mendengarkan, memperhatikan dan mengikuti arahan yang diberikan selama 15-30 menit.

Kemudian, McCutcheon juga menyarankan orangtua agar memperhatikan alat musik yang dimainkan telah sesuai perkembangan usia anak. Seperti terompet yang tidak sesuai untuk anak usia di bawah 10 tahun. Lebih sesuai jika anak usia tersebut diberikan latihan piano, gitar, biola dan alat musik perkusi. Ia juga meminta orangtua agar seksama melakukan pemilihan guru musik, sedapat mungkin pilih guru yang mahir berinteraksi dengan anak-anak

“Pertimbangkan juga, apakah orangtua juga bisa meluangkan waktu untuk melihat anak berlatih musik. Dengan demikian, orangtua bisa melihat perkembangan dan potensi anak di bidang alat musik tersebut,” ujarnya.(berbagai sumber/rin)

By:http://www.republika.co.id/berita/746/Stimulasi_Musik_Untuk_Kecerdasan_Anak

Kamis, 12 November 2009

Ciri Keterlambatan Perkembangan Anak

Author: Denny Wardhana
Tanggal: 07/10/2005

Keterlambatan Perkembangan dapat diketahui secara dini dengan mengenali cirinya
Secara umum, cirinya adalah sebagai berikut:

* Perilaku
* Fisik & Motorik Kasar
* Penglihatan
* Pendengaran


Ciri Keterlambatan Perkembangan Perilaku (Behaviour)

* Tidak dapat mempertahankan perhatiannya atau tetap fokus terhadap
aktivitas yang sedang dilakukannya dalam waktu tertentu seperti anak
seusianya
* Fokus pada obyek yang tidak biasa dalam waktu yang lama; sangat menikmati hal tersebut dibandingkan dengan interaksi dengan orang/obyek lainnya
* Menghindari tatapan mata dengan orang lain
* Terlihat frustasi dalam melakukan aktivitas sederhana yang anak lain dapat lakukan
* Memperlihatkan perilaku yang agresif dan lebih keras kepala dibandingkan dengan anak lain seusianya
* Melakukan kekerasan setiap harinya
* Memandang langit, mengguncang-guncang tubuhnya, berbicara sendiri lebih sering dan lama dibandingkan anak lain seusianya
* Tidak berusaha mendapatkan perhatian dan kasih sayang
* Tidak merasa perlu mendapatkan persetujuan untuk melakukan hal yang tidak biasa atau sama sekali baru


Ciri Keterlambatan Perkembangan Fisik dan Motorik

* Tangan dan kaki sangat kaku dan tidak fleksibel
* Memiliki tubuh yang lembek atau lemas dibandingkan dengan anak lain seusianya
* Hanya atau jauh lebih sering menggunakan salah satu sisi dari badannya
* Sangat ceroboh jika dibandingkan dengan anak lain seusianya


Ciri Keterlambatan Perkembangan Penglihatan (Vision)

* Mengalami kesulitan untuk mengikuti pergerakan obyek atau orang lain dengan matanya
* Sering menggosok-gosok mata
* Memiringkan kepala secara tidak biasa untuk melihat suatu obyek
* Sulit mengambil benda kecil denga tangannya (setelah usia 12 bulan)
* Kesulitan untuk fokus atau bertatapan (eye contact)
* Menutup salah satu matanya untuk melihat benda yang jauh
* Juling kedalam atau keluar
* Mendekatkan benda ke matanya agar dapat melihatnya
* Ukuran dan/atau warna mata yang tidak wajar


Ciri Keterlambatan Perkembangan Pendengaran (Hearing)

* Bersuara sangat keras atau sangat pelan
* Kesulitan untuk merespons pada saat di panggil meskipun untuk hal-hal yang sangat ia senangi
* Mengarahkan badannya sedemikian rupa sehingga kedua telinganya mengarah ke sumber suara
* Sulit mengerti atau menjalankan perintah (setelah usia 3 tahun)
* Tidak terkejut terhadap suara keras
* Daun telinga terlihat kecil atau mengalami perubahan bentuk
* Gagal mengeluarkan suara atau kata yang seharusnya bisa dilakukan oleh anak seusianya

CATATAN:
Ciri keterlambatan ini disusun berdasarkan Tahapan Perkembangan yang biasanya dilalui oleh setiap anak Namun, hal ini bukan berarti bahwa PutraPutri anda mengalami Keterlambatan Perkembangan. Segeralah menghubungi dokter anak anda atau para ahlinya

PERINGATAN:
pengamatan terhadap PutraPutri anda tidak digunakan untuk membanding-bandingkannya dengan anak lain tetapi untuk mengenali perkembangannya agar sesuai dengan anak di usianya. PutraPutri anda adalah individu yang unik yang membutuhkan waktu, belaian, perhatian dan kasih sayang anda


Sumber :http://www.putraputri.com/perkembangan_anak/38/Ciri%20Keterlambatan%20Perkembangan%20Anak

Rabu, 11 November 2009

Pendidikan Seni Musik Sebagai Bentuk Pengembangan Kepribadian Anak


Oleh Zufriady


Abstrak

Pendidikan seni musik merupakan pendidikan yang dapat mengembangkan kepriadian anak secar langsung dan tidak langsung. Dengan belajar musik anak akan banyak mendapatkan perkembangan kreatifitas, inovatif dan rasa estetik secara mendalam. Perkembangan yang dimaksud merupakan proses yang diperlukan anak didalam kehidupannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dapat dilihat dari perkembangan kognitif dan psikomotor mereka dalam melaksanakan aktifitas belajar untuk kemampuan sewaktu beraktifitas dan perkembangan anak secara tidak langsung juga akan dapat mereka rasakan dalam kehidupan sehari hari dalam berinteraksi pada lingkungan mereka yang dapat dilihat dari asfek afektifnya.


Kata kunci: Pendidikan seni musik, perkembangan anak, kreatifitas, inovasi, estetis, kognitif,

psikomotor, dan afektif.

Latar Belakang

Pendidikan merupakan aspek yang tidak luput dari kehidupan manusia, setiap manusia tetap akan belajar dan selalu mencari sesuatu yang belum diketahuinya. Hal ini disebabkan oleh rasa ingin tahu dan insting seorang manusia yang selalu berkembang dengan rangsangan yang ada di lingkungannya.

Berbagai macam bentuk pendidikan yang terjadi baik secara formal maupun secara non formal. Secara formal dapat dilihat dari pendidikan yang dilakukan secara konfensional dan pendidikan non formal yang terjadi dimasyarakat dengan berbagai bentuk dan fenomena yang terjadi, seperti pewarisan dari orang tua ke pada anak, dari teman sejawat, dan pendidikan yang terjadi dari lingkungan maysarakatnya sendiri.

Dua istilah yang berkembang pada saat sekarang dalam pengembangan seni yaitu pendidikan seni dan seni pendidikan. Dalam konteknya pendidikan seni merupakan pendidikan yang berfungsi untuk mendidik dalam pendewasaan anak dan ini bersifat umum sebagai pengembangan kepribadian secara estetik. Sedangkan seni pendidikan dikelompokkan kepada pembelajaran seni sebagai membelajarkan seni secara utuh, dengan arti mendidik seni agar memiliki keahlian dibidang seni seperti contoh pada sekolah-sekolah seni.

Pendidikan seni sebagai pendidikan dapat mengembangkan anak dari berbagai aspek perkembangan yang berfungsi sebagai pengembangan diri dalam bentuk kognitif, afektif dan pskikomotornya. sebagai contoh perkembangan seni yang dapat mengembangkan kepribadian adalah dengan melaksanakan pembelajaran seni untuk menghaluskan budi pekerti dari anak.

Menurut KI Hajar Dewantara pendidikan memiliki tiga tujuan yaitu: 1) untuk memperhalus budi pekerti, 2) kecerdasan otak, dan 3) untuk kesehatan badan.

Pendidikan Seni Musik

Beberapa pendapat mengatakan bahwa pentingnya pendidikan seni di sekolah guna mengembangkan dan meningkatka kualitas anak didik dalam pendewasaannya. Pada bagian ini akan dibahas tiga pendapat tentang pentingnya pendidikan seni yaitu menurut Ki Hajar Dewantara, Music Education As An Aesthetic Education dan Praxis Philosophy.

  1. Menurut Ki Hajar Dewantara.

Pendidikan musik yang dilandasi oleh musik bangsanya selain musik bangsa lain, diharapkan mampu membentuk manusia yang berbudi luhur. Kehalusan rasa digunakan sebagai pelita untuk mempertajam pemikiran dan menyelaraskan tindakan, baik tindakannya sebagai individu maupun tindakannya sebagai bagian dari masyarakat.

  1. Menurut Music Education as an Aestetic education

Pendidikan musik bertujuan untuk mengembangkan kemampuan seseorang untuk merespon kualitas estetis yang terdapat pada suatu karya. Aktivitas yang menjadi indikator adanya kemampuan merespon diantaranya ialah mengkritik, memilih dan menentukan musik mana yang disukai, memberi makna terhadap musik yang didengar dan memberi keputusan menolak atau mendengarkan suatu karya musik hingga selesai.

  1. Menurut Praxis philosophy

Pendidikan musik dalam pandangan praxis filosofi memiliki makna membantu manusia mengembangkan kemampuannya untuk memperoleh pengetahuan, berkembang, memiliki harga diri dan identitas diri serta memiliki kepekaan sosial terhadap keragaman budaya.

Dari tiga argumen yang terdapat di atas menentukan pentingnya pembelajaran seni musik disekolah guna membangun jati diri anak dalam prses mereka berkembang. Berbagai aspek yang dapat dilihat dalam pembelajaran seni musik yaitu perkembangan anak, proses berkreatifitas, berinovasi dan lainnya.

Perkebangan anak.

Anak merupakan aset yang dapat digunakan di dalam proses belajar. Dengan melihat perkembangan anak seorang guru akan mampu untuk memahami dan mengerti dengan mereka. Untuk itu beberapa pendapat yang meneliti tentang perkembangan anak tersebut.

Menurut Aristoeles dalam Syamsu (2002:20), perkembangan jiwa anak berdasarkan biologis dapat dibedakan berdasarkan tingkat umur yaitu:

- Usia 0-7 tahun disebut masa anak kecil/masa bermain

- Usia 7-14 tahun disebut masa belajar/sekolah dasar

- Usia 14-21 tahun disebut masa peralihan dari anak menjadi dewasa.

Menurut Utami (1999:1), perkembangan jiwa anak dilihat dari sudut psikolohis dapat dibedakan antara lain:

a. Masa bayi, adalah sejak lahir sampai pada akhir tahun ke dua

b. Masa anak awal, atau masa anak-anak, adalah dari permulaan tahun ke
3-6 tahun, disebut juga masa anak prasekolah. Pada masa ini anak lebih
suka bermain.

c. Masa anak lanjut atau masa anak sekolah antara umur 6 - 13 tahun

d. Masa anak jadi matang secara seksual antara umur 13-18 tahun. Hal ini
juga dikatakan masa peralihan anak ke dewasa.

Adapun ciri-ciri anak masa sekolah adalah sebagai berikut:

a. Keterampilan membantu diri sendiri, pada masa ini anak sudah dapat
melakukan kebutuhan sendiri, seperti makan, berpakaian dan mandi tanpa bantuan orang lain.

b. Keterampilan sosial, pada masa ini anak dapat membantu orang lain, seperti menyapu rumah, dan menghapus papan tulis di sekolah.

c. Keterampilan sekolah, pada masa ini anak dapat mengembangkan
keterampilan misalnya, keterampilan membaca, menulis, memasak.

d. Keterampilan bermain, pada masa ini anak cenderung meniru bentuk permainan dari kelompok sebayanya, misalnya main bola, berenang, main layang-layang.

Utami menegaskan bahwa pada usia 6-9 tahun dapat dikategorikan pada karakteristik sekolah kelas rendah, dan usia 10-13 tahun dikatakan karakteristik kelas tinggi.

Adapun ciri-ciri anak pada masa sekolah kelas rendah dan kelas tinggi adalah:

a. Masa sekolah kelas rendah

- Pertumbuhan jasmani dan prestasi seimbang

- Tunduk pada permainan tradisional

- Suka memuji diri sendiri dan membandingkannya dengan orang lain

- Tingkat ketekunan rendah, misalnya apabila ia tidak berhasil melakukan
suatu pekerjaan, maka pekerjaan itu dianggap tidak penting.

- Egois, cenderung memaksakan kehendak sesuai dengan
kebutuhannya, tanpa mempertimbangkan kemampuan yang dimiliki,
misalnya ia berambisi untuk mendapatkan nilai tinggi tanpa berusaha.

- Suka membuat permainan dengan kreasi baru.

b. Masa sekolah tinggi

- Cenderung melakukan pekerjaan yang praktis

- Tingkat rasa ingin tahu tinggi

- Tumbuhnya kesadaran yang tinggi dan tekun untuk melakukan suatu
pekerjaan tertentu.

- Sudah mulai mengevaluasi diri sendiri atas prestasi yang dicapai

- Suka membuat permainan-permainan dengan kreasi baru.

Menurut Purwatiningsih (1999:120-121), bahwa karakteristik anak pada masa sekolah (SD) dapat dibedakan menurut tingkat umurnya yaitu:

1. Tingkat umur 6-7 tahun digolongkan pada kelas rendah

2. Tingkat umur 10-13 tahun digolongkan pada kelas tinggi

Karakteristik Siswa SD tersebut dibafi atas 3 bagian yaitu:

1. Karakteristik secara umum

2. Karakteristik kecerdasan

3. karakteristik sosial



KARAKTERISTIK SISWA SD

Kelas Rendah (6-9 Tahun)

Kelas Tinggi (10-13 Tahun)

Karakteristik Secara Umum

  1. Waktu reaksi lambat
  2. Koordinasi otot tidak sempurna
  3. Suka berkelahi
  4. Gemar bergerak, bermain, memanjat
  5. Aktif bersemangat
  6. Terhadap bunyi-bunyianyang teratur/irama

Karakteristik Secara Umum

  1. Waktu reaksi lambat
  2. Koordinasi otot sempurna
  3. Gemar bergerak danbermain

Karakteristik Kecerdasan

  1. Pusat perhatian rendah
  2. Kemauan berfikir terbatas
  3. Gemar mengulangi macam-macam kegiatan

Karakteristik Kecerdasan

1. Pusat perhatian tinggi

2. Kemampuan berfikir tinggi

Karakteristik Sosial

1. perhatian tinggi terhadap hal-hal yang bersifat drama

2. berkhayal dan suka meniru

3. gemar akan kedaan alam

4. senang akan cerita-cerita (dongeng)

5. sifat pemberani

6. senang jika mendapatperhatian/pujian orang lain

Karakteristik Sosial

1. waktu reaksi lambat

2. tidak suka kepada hal-hal yang bersifat drama

3. gemar pada lingkungan sosial

4. senang pada cerita-cerita lingkungan sosial

5. sifat berani dengan menggunakan logika
































Proses Berkreativitas

Suatu pertanyaan yang sering terdengar dalam benak kita, apa yang dimaksud dengan kreatifitas. Dalam kehidupan sehari- hari kita selalu mendengar istilah kreativitas dan kreatifitas itupun senantiasa menjadikan sesuatu yang berharga dan sesuatu yang memiliki makna besar dalam kehidupan kita.

Banyak para ahli filsafat dan psikolog-psikolog yang menafsirkan dan memberikan pendapat tentang maksud dari kreatifitas, baik dari kalangan seniman, pengusaha, dunia pendidikan, politik, religi dan kalangan lainnya.

Dari kalangan seniman banyak mengatakan suatu modal utama dari sebuah aktifitas berkesenian, dari kalangan pengusaha juga mengatakan bahwa modal sebuah usaha juga dipicu oleh sebuah kreatifitas yang baik, dari kalangan dunia pendidikan mengatakan lemahnya pendidikan juga disebabkan oleh lemahnya kreatifitas guru dalam bidang mengajar, dari dunia politik mengatakan bahwa negara kita kurang memiliki kreatifitas yang baik sehingga kita jauh tertinggal dari negara lain dan malah kita lebih cendrung untuk meniru dari pada berbuat yang baru dan dari kalangan lainnya juga memiliki pandangan yang berbeda pula dari konsep pemikirannya dalam melihat suatu kreativitas.

Pada pendidikan seni musik di sekolah dasar sangat benayak mepengaruhi siswa untuk selalu berkeratifitas, keratifitas dalam pendidikan seni musik berbentuk usaha anak untuk menemukan hal-hal yang baru dengan latar belakang apresiasi dan proses belajar didalam memainkan dan bekerja musik itu sendiri.

Seorang anak akan diminta untuk memainkan salahsatu alat musik, dengan satu kegiatan seperti memainkan alat musik seorang anak akan berusaha untuk menemukan bagaimana cara memainkan yang benar, mencari nada yang pasti teknik bermain yang bagus hingga penghayatan dari sebuah permainan alat yang anak mainkan. Dengan demikian anak akan menjumpai beberapa persoalan dalam bermain musik sehingga dengan berbagai persoalan tersebut anak akan terbiasa dengan menghadapi permasalan-permasalahan pada proses perkembangan mereka.

Proses seperti ini akan memberikan stimulus kepada anak untuk berkreatifitas sesuai dengan perkembangannya dan juga membangkitkan rasa untuk berinovasi dengan pengalaman-pengalama yang sudah ada.

Sebagai suatu pengalaman yang penulis rasakan, sewaktu pada sekolah dasar. Pada waktu itu berbagai kegiatan kreatifitas dan inovasi yang dilakukan secara berkelompok. Terciptanya sebuah kelompok musik band ala siswa SD dalam bentuk penggunaan alat-alat bekas pakai yang ada dilingkungan dijadikan sebagai alat musik. Kelompok drum tercipta dari kaleng-kaleng, galon minyak besar sebagai bass drum dan tutup lampu petromat sebagai simbal.

Bentuk lainnya pembuatan instrumen gitar, kiboard yang dirancang dengan menggunakan papan seberan yang dicari dengan sekelompok teman pada sebuah perusahaan pengolahan kayu. Berbagai model yang dibaut dengan papan sehingga dapat menyerupai gitar buntungnya bung Roma grup Soneta. Kiboard terbuat dengan bilahan kayu yang diolah sedemikian rupa dengan bentuk yang menyerupai kiboard sesungguhnya dengan merek Roland.

Proses seperti di atas merupakan sebuah ajang kreatifitas dan inovasi yang dilakukan tampa disadari dan sebuah proses yang memiliki makna untuk perkembangan kepribadian anak.

Bentuk perkembangan kognitif yang dilihat dari pengaplikasian diri dari gejala masyarakat dengan pesatnya perkembangan dunia musik. Bentuk seperti ini proses kognitif sangat besar, sebab pada masa ini anak berusaha untuk mengaplikasikan pemikirannya dengan berbagai persoalan-persoalan yang terjadi sewaktu berproses.

Sebagi bentuk afektif yang terjadi pada proses penghargaan terhadap ide-ide teman dan menghadapi permasalahan sosial yang terjadi pada lingkungan, seperti sesama teman, dengan orang tua untuk memberikan kesempatan untuk beraktifitas dan dengan orang-orang yang mereka hadapi sewaktu itu.

Dari asepek psikomotor sudah pasti mereka dapatkan dengan proses anak mengolah bahan-bahan menjadi sebuah hasil karya disamping melahirkan skil motorik pada aktifitas bermain musik.

Berinovasi

Dengan pembelajaran seni musik, anak akan menemukan ide-ide baru yang mereka temukan didalam beraktifitas seni. Menurut udin saefudin saud (2006) Inovasi ialah Suatu ide, barang, kejadian metode yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik itu berupa hasil inovasin maupun diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu.

Jika dilihat dari perkembangan anak di atas, sebuah inovasi tentu akan mereka lewati sewaktu bersinggungan dengan pembelajaran musik sebab mereka juga akan berusaha untuk mencari ide-ide dan gagasa baru yang dibimbing oleh gurunya pada proses belajar. Hal ini akan diperkuat dengan kurikulum KTSP pada saat sekarang dengan arti, kurikulumnya telah menuntut anak untuk selalu menemukan dan menemukan secara madiri. Dengan demikian, proses berinovasi dalam pembelajaran musik akan membuka peluang yang sangat besar bagi anak


Sumber:

Atwi Suparman, (1995); Desain Intruksional, PAU Universitas terbuka, Jakarta

Buzan. (2004) ; Otot dan Tubuh, Jakarta.

Komalawati Enung. (2008). Pengembangan Aspek Kreativitas Dalampembelajaran Seni Tari Di Sekolah Dasar. Sekolah pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

Purwatiningsih, Hartini Ninik, (1999), Pendidikan Seni Tari Drama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Syamsu,(2004) ; Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Remaja Rosdakarya , Bandung

Saefudin saud udin, (2006). Inovasi Pendidikan. Bahan belajar mandiri. UPIPERS Bandung.

Suyanto slamet (2005). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Hikayat. Yogyakarta

Tim Abdi Guru, (1994), Kesenian untuk SMP kelas VII, : Erlangga. Jakarta